Manusia sebagai makhluk
Tuhan tidak bisa dipisahkan dari keberagaman dan pluralitas. Keberagaman itu
sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan dan ini sudah menjadi
ketentuan Tuhan. Keberagaman dan pluralitas inilah yang menjadi keindahan bagi
kemanusiaan itu sendiri. Namun kekerasan bernuansa agama di negara ini telah
mengoyak kemanusiaan dengan keberagamannya itu.
Apabila berbicara tentang
pluralisme agama di Indonesia. Maka hal ini tidak dapat dipisahkan. Indonesia
merupakan negara yang kaya akan pluralitas. Baik dari segi budaya, bahasa, dan
agama. Keberadaan faham pluralisme selalu menjadi tolak ukur diterima tidaknya
pluralitas itu sendiri. Pro-kontra pluralisme agama di Indonesia senantiasa
menjadi latar belakang munculnya konflik-konflik sosial dan yang lainnya.
Pluralisme adalah sebuah keniscayaan bahwa di
negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara
berdampingan, sehingga kehadirannya tidak dapat dihindari dan sudah menjadi
sunnatullah. Pluralisme agama diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya
keragaman pemikiran keagamaan. Dalam fatwa MUI Juli 2005 ditegaskan bahwa
pluralism haram jika pluralism dimaknai; pertama, menyatakan semua agama benar.
Pengertian semacam ini, bagi MUI tidak benar menurut semua ajaran agama. Kedua,
teologi pluralism yaitu teologi yang
mencampuradukan berbagai ajaran agama menjadi satu dan menjadi sebuah agama
baru.
Prestasi sebuah bangsa yang demokratis sangat
beraitan erat dengan penghargaannya atas pluralisme agama. Hal ini akan menjadi
tolak ukur, apakah bangsa tersebut berhasil menegakkan nilai-nilai pluralis.
Fenomena kekerasan terhadap pemeluk lain belakangan ini merupakan ciri dari
kurangnya sensitivitas terhadap pluralisme agama itu sendiri.
Buku ini menfokuskan kaian pada pemikiran
Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif mengenai pluralisme agama dan
demokrasi di Indonesia serta perjuangan mereka dalam menegakkan pluralisme
dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Sedangkan menurut sudut pandang Abdurrahman
Wahid, beliau menolak dengan keras fatwa MUI yang telah mengharamkan
pluralisme. Menurutnya, Indonesia bukan suatu negara yang didasarkan hanya pada
satu agama tertentu, MUI bukan institusi yang berhak menentukkan apakah sesuatu
hal benar atau salah. Abdurrahman Wahid sangat menghormati bahkan membela warga
negara yang tertindas, dengan alasan warga negara siapapun itu, apapun
budayanya, rasnya, agamanya, mereka semua adalah sama-sama makhluk Tuhan Allah
SWT, sama-sama manusia yang harus kita hormati. Beliau berkeyakinan bahwa
memaknai ajaran agama tidak akan pernah lepas dari sisi kemanusiaan. Apabila
nilai-nilai kemanusiaan diabaikan, maka nilai-nilai kegamaan yang benar akan
hilang. Islam tidak lagi cukup hanya menjadi ekspresi keimanan sebagai muslim
untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka, akan tetapi harus menjadi bagian
dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat-rakyat yang tertindas dari
belenggu kenistaan, kehinaan, dan kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai
makhluk yang mulia.
Pluralitas, perbedaan,
dan diversitas tidak lagi dilihat sebagai suatu mata rantai yang memperkokoh
persatuan, sehingga dalam perjalanan bangsa Indonesia aksi-aksi separatis
(pemisahan diri) juga selalu berjalan beriringan dengan berbagai tuntutan. Salah
satu contohnya adalah merdekanya Timor-Timor yang aksi separatisnya berlangsung
selama puluhan tahun. Bahkan, yang hingga saat ini masih terjadi adalah aksi
separatis di Papua dan Maluku dengan masing-masing wujud, skala dan
intensitasnya.
Permasalahan pluralitas
di Indonesia jelas-jelas telah mengancam integrasi bangsa. Pancasila, UUD 1945,
dan slogan NKRI sebagai pemersatu bangsa nyaris-nyaris menjadi simbol belaka.
Ini terjadi bukanlah karena kemauan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat
tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakpuasan akibat secara ekonomi dan
politik hak-hak mereka tidak terpenuhi. Bahkan institusi dan struktur
kemasyarakatn yang sudah turun-temurun mereka jalani sebagai pengaturan
kehidupan berpemerintahan khas setempat, tercerabut oleh keseragaman akibat
kebijakan dan perundang-undangan yang sentralistik. Hal inilah yang menjadi
tuntutan gerakan-gerakan separatis di Indonesia, dan sebagian besar kelompok
sosial. Kita tahu bahwa selama masa Orde Baru hal ini bukanlah sesuatu yang
tidak lumrah, namun nyatanya angin reformasi yang berhembus selama 13 tahun
hingga kini tidak benar-benar membawa perubahan yang signifikan dalam segala
aspek kehidupan sosial. Pembangunan ekonomi dan sentralisasi politik yang pada
masa Orde Baru hanya terjadi atau dilakukan di Indonesia bagian barat, serta
praktik-praktik KKN, semakin merajalela di era reformasi ini.
Seperti yang telah
dikatakan di atas, bahwa pluralitas yang tidak diiringi dengan keadilan sosial,
baik secara ekonomi, politik, dan hukum akan sangat membahayakan integrasi
bangsa, bahkan lebih jauh lagi telah mencederai demokrasi. Nilai-nilai
demokrasi seperti keadilan sosial, kebebasan, diakuinya hak-hak individu, serta
norma-norma sosial dan kearifan lokal bangsa Indonesia, terkadang telah
diabaikan untuk mendapatkan jabatan tertentu, maupun keuntungan finansial.
Sungguh hal semacam itu menjadi semacam paradoks di Indonesia yang mengklaim
sebagai negara demokrasi terbesar dengan keberagamana yang mampu dipersatukan
dalam suatu negara berdaulat yang eksis hampir 70 tahun
Pluralisme Agama dalam
Konteks Keindonesiaan
Islam yang dibawa nabi
Muhammad SAW merupakan kelanjutan dan pengembangan dari Islam yang dibawa oleh
para nabi dan rasil terdahulu yang tampil ke permukaan sejarah silih berganti. Term
Al-muslimun dalam arti kolektif sebagai pemeluk Islam menurut kesaksian
Al-Quran diberikan kepada nabi Ibrahim Bapak Spiritual dari semua agama
tauhid-samawi. Semua pengikut Ibrahim berarti dapat dikatakan muslimun yang
makna intinya berserah diri kepada Allah, tidak kepada yang lainnya. Adapun
kelak sampai saat ini terjadi distorsi, maka itu merupakan bentuk kezaliman
manusia terhadap pesan inti wahyu yang merupakan kesatuan ajaran. Salah satu
aspek modernistas yang cukup menonjol adalah berkembangnya kehidupan manusia
yang multikultur, yang berarti multi etnik dan multi agama. Syariat yang
dipahami oleh kalangan pluralis seperti Ahmad Safii Maarif adalah syariat yang
mampu mengayomi aspek multicultural tersebut dalam bingkai kebangsaan yang adil
dan manusiawi.
Pandangan lain yang
menggambarkan Ahmad Safii Maarif sebagai tokoh yang membela pluralisme adalah
penolakanya terhadap perda-perda yang berbau syariat. Beliau menyatakan bahwa
Pancasila merupakan dasar filosofi bagi semua aspek Indonesia terutama dalam
pluralisme Indonesia. Meskipun Pancasila kalau disadari banyak terdapat
nilai-nilai Islam sisalamnya, terkadang juga ditafsirkan sebagai sekularisme
versi Indonesia oleh orang-orang tertentu dan sampai sekarang dalam sejarah Indonesia
tidak ada konsep lain yang tepat dan rasional dapat mengukuhkan persatuan dan
keutuhan bangsa kecuali lima dasar yang terdapat dalam sila-sila Pancasila.
Analisis
Perbandingan
Menurut Abdurrahman
Wahid dan Ahmad Syafii Maarif, Islam tidak menolak semua bentuk pluralisme
agama. Pluralisme agama yang berarti membenarkan semua agama atau menyatakan
semua gama mampu menghantarkan umatnya untuk mendapat keselamatan abadi di
akhirat, selain tidak sesuai dengan akal sehat manusia juga bertentangan dengan
argumentasi teks agama Islam khususnya Al-Quran.
Namun ada pengertian
lain dari pluralisme agama yang pernah diajarkan dan dipraktekkan oleh Rasul
SAW, pluralisme agama yang berarti “hidup bersosial kemasyarakatan secara baik,
rukun dan damai dengan penganut agama lain” bukan pluralisme agama dalam arti
membenarkan semua agama, atau menyatakan bahwa semua agama mampu menghantarkan
manusia pada kemuliaan dan keselamatan sejati dan abadi yang merupakan
konsekuensi dari pembenaran esensi setiap agama. Dan tentu saja semua yang
dilakukan Rasulullah tidak akan bertentangan dengan Al-Quran dan bahkan menjadi
argumen (sunnah) bagi semua kaum
Muslim di dunia.
Antara Abdurrahman
Wahid dan Ahmad Syafii Maarif pada
pergulatan pemikirannya terdapat sedikit perbedaan. Perbedaan itu terletak pada
periodesasi pemikiran keduanya. Abdurrahman Wahid sejak kecil tumbuh dan
berkembang sesuai doktrin NU yang dari sejak awal telah menerima pemahaman
kemajemukan. NU sejak awal menerima Pancasila sebagai dasar final kehidupan berdemokrasi
di Indonesia. Sedangkan Ahmad Syafii Maarif berasal dari kalangan ormas yang
dianggap (gerakan Islam) modernis, yaitu Muhammadiyah. Sejak awal beliau
termasuk salah satu fundamentalis Islam yang menganggao bahwa agama dan negara
harus diformalisasikan. Akan tetapi pada pergulatan pemikirannya, 10 tahun
terakhir setelah ia belajar dengan pejuang pluralisme di Indonesia. Ia semakin
menampilkan wajah Islam yang terbuka dengan keberagaman budaya, etnis, suku,
bangsa, ras, agama, bahkan ateis pun.
Kebebasan beragama dan
berkeyakinan juga mnejadi tuntutan international sebagamana tertuang dalam International Covenant on Civil and
Political Rights (ICPPR) yang pada pasal 18 berbunyi:
- Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menetapkan agama dan kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di
tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran.
- Tidak
seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
- Kebebasan
menjalankan dan menentukkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat
dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hokum, dan yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masayarakat, atau hak-hak dan
kebebasan mendasar orang lain.
Kesimpulan
Multikulturalisme dan
pluralisme dengan politik pangakuan dan toleransinya yang dihayati secara
konsekuensi sebagai eksistensi manusia justru menjamin tertib sosial dan
melalui itu setiap orang akan bisa menjadi dirinya sendiri dalam keragamannya
yang unik, maka gagasan dan perjuangan besar Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii
Maarif menjadi tantangan bagi kita bersama.
Namun dalam
pelaksanaannya kita belum benar-benar menghayati dan bersungguh-sungguh dalam
menegakkan demokrasi Pancasila karena terhambat oleh ketakutan diri sendiri.
Hambatan-hambatan tersebut antara lain:
- Kurangnya kesadaran kita terhadap
perbedaan orang lain dalam keunikan identitas kultural dan jati diri seperti
perbedaan suku bangsa, ras, agama, dan kepercayaan diluar mainstream agama-agama besar
yang tumbuh di Indonesia.
- Kita masih memproyeksikan orang lain harus
seperti kita. Harus seperti agama dan keyakinan kita.
- Karena pendangkalan iman dan pemahaman
agama kita sendiri yang masih belum cukup sehingga kita segan untuk mengakui
keberagaman
- Karena kita masih takut jikalau dengan
menghargai pluralisme itu, keyakinan dan kepercayaan kita akan luntur.
Seiring dengan
menguatnya demokratisasi di Indonesia ini, walaupun semakin hari fenomena
kekerasan terhadap minoritas masih ada, maka kepada pemerintah diharapkan mampu
menumbuhkan dan memberdayakan kesadaran akan pentingnya demokratisasi yang
sehat di Indonesia. Setidak-tidaknya ada tiga upaya yang harus dilakukan
pemerintah saat ini dan ke depannya, yaitu menggalakkan dialog keterbukaan,
partisipasi aktif dan membangun kepekaan sosial salam keragaman (pluralisme
agama).
Sumber
buku:
Ghazali, Muhammmad
Safii. 2011. Pluralisme Agama di
Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press.