Saturday, 25 October 2014

PLURALISME AGAMA DI INDONESIA







Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak bisa dipisahkan dari keberagaman dan pluralitas. Keberagaman itu sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan dan ini sudah menjadi ketentuan Tuhan. Keberagaman dan pluralitas inilah yang menjadi keindahan bagi kemanusiaan itu sendiri. Namun kekerasan bernuansa agama di negara ini telah mengoyak kemanusiaan dengan keberagamannya itu.
Apabila berbicara tentang pluralisme agama di Indonesia. Maka hal ini tidak dapat dipisahkan. Indonesia merupakan negara yang kaya akan pluralitas. Baik dari segi budaya, bahasa, dan agama. Keberadaan faham pluralisme selalu menjadi tolak ukur diterima tidaknya pluralitas itu sendiri. Pro-kontra pluralisme agama di Indonesia senantiasa menjadi latar belakang munculnya konflik-konflik sosial dan yang lainnya.
Pluralisme adalah sebuah keniscayaan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan, sehingga kehadirannya tidak dapat dihindari dan sudah menjadi sunnatullah. Pluralisme agama diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran keagamaan. Dalam fatwa MUI Juli 2005 ditegaskan bahwa pluralism haram jika pluralism dimaknai; pertama, menyatakan semua agama benar. Pengertian semacam ini, bagi MUI tidak benar menurut semua ajaran agama. Kedua, teologi pluralism yaitu teologi yang mencampuradukan berbagai ajaran agama menjadi satu dan menjadi sebuah agama baru.
Prestasi sebuah bangsa yang demokratis sangat beraitan erat dengan penghargaannya atas pluralisme agama. Hal ini akan menjadi tolak ukur, apakah bangsa tersebut berhasil menegakkan nilai-nilai pluralis. Fenomena kekerasan terhadap pemeluk lain belakangan ini merupakan ciri dari kurangnya sensitivitas terhadap pluralisme agama itu sendiri.
Buku ini menfokuskan kaian pada pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif mengenai pluralisme agama dan demokrasi di Indonesia serta perjuangan mereka dalam menegakkan pluralisme dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. 
Sedangkan menurut sudut pandang Abdurrahman Wahid, beliau menolak dengan keras fatwa MUI yang telah mengharamkan pluralisme. Menurutnya, Indonesia bukan suatu negara yang didasarkan hanya pada satu agama tertentu, MUI bukan institusi yang berhak menentukkan apakah sesuatu hal benar atau salah. Abdurrahman Wahid sangat menghormati bahkan membela warga negara yang tertindas, dengan alasan warga negara siapapun itu, apapun budayanya, rasnya, agamanya, mereka semua adalah sama-sama makhluk Tuhan Allah SWT, sama-sama manusia yang harus kita hormati. Beliau berkeyakinan bahwa memaknai ajaran agama tidak akan pernah lepas dari sisi kemanusiaan. Apabila nilai-nilai kemanusiaan diabaikan, maka nilai-nilai kegamaan yang benar akan hilang. Islam tidak lagi cukup hanya menjadi ekspresi keimanan sebagai muslim untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka, akan tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat-rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan, dan kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang mulia.
Pluralitas, perbedaan, dan diversitas tidak lagi dilihat sebagai suatu mata rantai yang memperkokoh persatuan, sehingga dalam perjalanan bangsa Indonesia aksi-aksi separatis (pemisahan diri) juga selalu berjalan beriringan dengan berbagai tuntutan. Salah satu contohnya adalah merdekanya Timor-Timor yang aksi separatisnya berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan, yang hingga saat ini masih terjadi adalah aksi separatis di Papua dan Maluku dengan masing-masing wujud, skala dan intensitasnya. 
Permasalahan pluralitas di Indonesia jelas-jelas telah mengancam integrasi bangsa. Pancasila, UUD 1945, dan slogan NKRI sebagai pemersatu bangsa nyaris-nyaris menjadi simbol belaka. Ini terjadi bukanlah karena kemauan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakpuasan akibat secara ekonomi dan politik hak-hak mereka tidak terpenuhi. Bahkan institusi dan struktur kemasyarakatn yang sudah turun-temurun mereka jalani sebagai pengaturan kehidupan berpemerintahan khas setempat, tercerabut oleh keseragaman akibat kebijakan dan perundang-undangan yang sentralistik. Hal inilah yang menjadi tuntutan gerakan-gerakan separatis di Indonesia, dan sebagian besar kelompok sosial. Kita tahu bahwa selama masa Orde Baru hal ini bukanlah sesuatu yang tidak lumrah, namun nyatanya angin reformasi yang berhembus selama 13 tahun hingga kini tidak benar-benar membawa perubahan yang signifikan dalam segala aspek kehidupan sosial. Pembangunan ekonomi dan sentralisasi politik yang pada masa Orde Baru hanya terjadi atau dilakukan di Indonesia bagian barat, serta praktik-praktik KKN, semakin merajalela di era reformasi ini. 
Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pluralitas yang tidak diiringi dengan keadilan sosial, baik secara ekonomi, politik, dan hukum akan sangat membahayakan integrasi bangsa, bahkan lebih jauh lagi telah mencederai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi seperti keadilan sosial, kebebasan, diakuinya hak-hak individu, serta norma-norma sosial dan kearifan lokal bangsa Indonesia, terkadang telah diabaikan untuk mendapatkan jabatan tertentu, maupun keuntungan finansial. Sungguh hal semacam itu menjadi semacam paradoks di Indonesia yang mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar dengan keberagamana yang mampu dipersatukan dalam suatu negara berdaulat yang eksis hampir 70 tahun

Pluralisme Agama dalam Konteks Keindonesiaan
Islam yang dibawa nabi Muhammad SAW merupakan kelanjutan dan pengembangan dari Islam yang dibawa oleh para nabi dan rasil terdahulu yang tampil ke permukaan sejarah silih berganti. Term Al-muslimun dalam arti kolektif sebagai pemeluk Islam menurut kesaksian Al-Quran diberikan kepada nabi Ibrahim Bapak Spiritual dari semua agama tauhid-samawi. Semua pengikut Ibrahim berarti dapat dikatakan muslimun yang makna intinya berserah diri kepada Allah, tidak kepada yang lainnya. Adapun kelak sampai saat ini terjadi distorsi, maka itu merupakan bentuk kezaliman manusia terhadap pesan inti wahyu yang merupakan kesatuan ajaran. Salah satu aspek modernistas yang cukup menonjol adalah berkembangnya kehidupan manusia yang multikultur, yang berarti multi etnik dan multi agama. Syariat yang dipahami oleh kalangan pluralis seperti Ahmad Safii Maarif adalah syariat yang mampu mengayomi aspek multicultural tersebut dalam bingkai kebangsaan yang adil dan manusiawi.
Pandangan lain yang menggambarkan Ahmad Safii Maarif sebagai tokoh yang membela pluralisme adalah penolakanya terhadap perda-perda yang berbau syariat. Beliau menyatakan bahwa Pancasila merupakan dasar filosofi bagi semua aspek Indonesia terutama dalam pluralisme Indonesia. Meskipun Pancasila kalau disadari banyak terdapat nilai-nilai Islam sisalamnya, terkadang juga ditafsirkan sebagai sekularisme versi Indonesia oleh orang-orang tertentu dan sampai sekarang dalam sejarah Indonesia tidak ada konsep lain yang tepat dan rasional dapat mengukuhkan persatuan dan keutuhan bangsa kecuali lima dasar yang terdapat dalam sila-sila Pancasila.

Analisis Perbandingan
Menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif, Islam tidak menolak semua bentuk pluralisme agama. Pluralisme agama yang berarti membenarkan semua agama atau menyatakan semua gama mampu menghantarkan umatnya untuk mendapat keselamatan abadi di akhirat, selain tidak sesuai dengan akal sehat manusia juga bertentangan dengan argumentasi teks agama Islam khususnya Al-Quran.
Namun ada pengertian lain dari pluralisme agama yang pernah diajarkan dan dipraktekkan oleh Rasul SAW, pluralisme agama yang berarti “hidup bersosial kemasyarakatan secara baik, rukun dan damai dengan penganut agama lain” bukan pluralisme agama dalam arti membenarkan semua agama, atau menyatakan bahwa semua agama mampu menghantarkan manusia pada kemuliaan dan keselamatan sejati dan abadi yang merupakan konsekuensi dari pembenaran esensi setiap agama. Dan tentu saja semua yang dilakukan Rasulullah tidak akan bertentangan dengan Al-Quran dan bahkan menjadi argumen (sunnah) bagi semua kaum Muslim di dunia.
Antara Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif  pada pergulatan pemikirannya terdapat sedikit perbedaan. Perbedaan itu terletak pada periodesasi pemikiran keduanya. Abdurrahman Wahid sejak kecil tumbuh dan berkembang sesuai doktrin NU yang dari sejak awal telah menerima pemahaman kemajemukan. NU sejak awal menerima Pancasila sebagai dasar final kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Sedangkan Ahmad Syafii Maarif berasal dari kalangan ormas yang dianggap (gerakan Islam) modernis, yaitu Muhammadiyah. Sejak awal beliau termasuk salah satu fundamentalis Islam yang menganggao bahwa agama dan negara harus diformalisasikan. Akan tetapi pada pergulatan pemikirannya, 10 tahun terakhir setelah ia belajar dengan pejuang pluralisme di Indonesia. Ia semakin menampilkan wajah Islam yang terbuka dengan keberagaman budaya, etnis, suku, bangsa, ras, agama, bahkan ateis pun.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan juga mnejadi tuntutan international sebagamana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR) yang pada pasal 18 berbunyi:
  1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama dan kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran.
  2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
  3. Kebebasan menjalankan dan menentukkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hokum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masayarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Kesimpulan
Multikulturalisme dan pluralisme dengan politik pangakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia justru menjamin tertib sosial dan melalui itu setiap orang akan bisa menjadi dirinya sendiri dalam keragamannya yang unik, maka gagasan dan perjuangan besar Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif menjadi tantangan bagi kita bersama.
Namun dalam pelaksanaannya kita belum benar-benar menghayati dan bersungguh-sungguh dalam menegakkan demokrasi Pancasila karena terhambat oleh ketakutan diri sendiri. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: 
  1. Kurangnya kesadaran kita terhadap perbedaan orang lain dalam keunikan identitas kultural dan jati diri seperti perbedaan suku bangsa, ras, agama, dan kepercayaan diluar mainstream  agama-agama besar yang tumbuh di Indonesia. 
  2. Kita masih memproyeksikan orang lain harus seperti kita. Harus seperti agama dan keyakinan kita. 
  3. Karena pendangkalan iman dan pemahaman agama kita sendiri yang masih belum cukup sehingga kita segan untuk mengakui keberagaman 
  4. Karena kita masih takut jikalau dengan menghargai pluralisme itu, keyakinan dan      kepercayaan kita akan luntur.

Seiring dengan menguatnya demokratisasi di Indonesia ini, walaupun semakin hari fenomena kekerasan terhadap minoritas masih ada, maka kepada pemerintah diharapkan mampu menumbuhkan dan memberdayakan kesadaran akan pentingnya demokratisasi yang sehat di Indonesia. Setidak-tidaknya ada tiga upaya yang harus dilakukan pemerintah saat ini dan ke depannya, yaitu menggalakkan dialog keterbukaan, partisipasi aktif dan membangun kepekaan sosial salam keragaman (pluralisme agama).





Sumber buku:

Ghazali, Muhammmad Safii. 2011. Pluralisme Agama di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press.

No comments:

Post a Comment