Sekali-kali ngepost kisah orang, repost juga sih sebenernya haha :D
Ada nih cerita dari anak muda kece, jujur dan cumlaude dari FH UI hanya 6 semester.
Inspiratif banget buat anak muda yang peduli dengan masalah sosial di sekitar kita.
Sumber: Dari agan kaskus (http://www.kaskus.co.id/thread/542a6acade2cf282238b456e/sma-cuma-setahun-lulus-cum-laude-fh-ui/)
Namanya Andri Rizki Putra. Panggilannya Rizki. Tahun ini umurnya genap 23 tahun. Kalau sekilas melihat tampilannya, Rizki lebih mirip dengan artis dibanding aktivis LSM yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak tidak mampu.
Rizki punya kegiatan yang
sungguh mulia. Masa kecilnya yang tidak beruntung (Rizki tumbuh dan dibesarkan oleh
ibunya seorang diri) dan pengalaman di sekolah umum yang tidak jujur
mendorongnya membuat gerakan pendidikan yang menjunjung tinggi
kejujuran.
Tahun 2012 dia mendirikan yayasan yang mengadakan sekolah untuk anak-anak putus sekolah.
Silakan simak cerita Henny Galla Pradana yang pernah dimuat di
jawapos.com berikut.
BUNYI
lonceng di salah satu sudut sekolah menandai berakhirnya ujian nasional
(unas) pada pertengahan 2006 lalu. Andri Rizki Putra yang saat itu masih
SMP bergegas keluar kelas. Terik siang yang menyelimuti Jakarta kala
itu menemani langkah kakinya yang cepat menyusuri teras-teras panjang
kelas. Dia buru-buru ingin bertemu kepala sekolah. Belum sampai mengetuk
pintu ruang kepala sekolah, dia bertemu salah seorang guru.
”Kenapa ingin ke kantor kepala sekolah?” tanya sang guru. Tanpa takut,
remaja dengan seragam putih biru itu bilang bahwa dirinya ingin
mengadukan buruknya sistem ujian nasional. Bagaimana bisa, tanya Rizki,
guru-guru tutup mata bahwa murid-murid peserta ujian menyontek dengan
bebas? Bahkan, guru mengirim kunci jawaban lewat pesan pendek? ”Buat apa
pintar kalau didapat dari ketidakjujuran?” tegasnya.
Bagi Rizki, apa yang dia alami adalah suatu yang tidak masuk akal.
Apalagi, saat sang guru justru balik bertanya kenapa. ”Kenapa Rizki tak
bilang ke saya (untuk dapat sontekan)? Nanti pasti kamu dapat nilai yang
lebih bagus,” kata guru itu, lantas mencegah Rizki bertemu kepala
sekolah.
Padahal, tanpa menyontek, Rizki bisa lulus dengan nilai bagus. Rata-rata
nilai yang dia dapatkan dalam tiga mata pelajaran, bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan Matematika, adalah 8,75. Ironi tak mandek di situ.
Teman-teman sekolah Rizki yang notabene siswa salah satu SMP unggulan di
Jakarta Selatan justru mengucilkannya.
BUNYI lonceng di salah satu sudut sekolah menandai berakhirnya ujian
nasional (unas) pada pertengahan 2006 lalu. Andri Rizki Putra yang saat
itu masih SMP bergegas keluar kelas. Terik siang yang menyelimuti
Jakarta kala itu menemani langkah kakinya yang cepat menyusuri
teras-teras panjang kelas. Dia buru-buru ingin bertemu kepala sekolah.
Belum sampai mengetuk pintu ruang kepala sekolah, dia bertemu salah
seorang guru.
”Kenapa ingin ke kantor kepala sekolah?” tanya sang guru. Tanpa takut,
remaja dengan seragam putih biru itu bilang bahwa dirinya ingin
mengadukan buruknya sistem ujian nasional. Bagaimana bisa, tanya Rizki,
guru-guru tutup mata bahwa murid-murid peserta ujian menyontek dengan
bebas? Bahkan, guru mengirim kunci jawaban lewat pesan pendek? ”Buat apa
pintar kalau didapat dari ketidakjujuran?” tegasnya.
Bagi Rizki, apa yang dia alami adalah suatu yang tidak masuk akal.
Apalagi, saat sang guru justru balik bertanya kenapa. ”Kenapa Rizki tak
bilang ke saya (untuk dapat sontekan)? Nanti pasti kamu dapat nilai yang
lebih bagus,” kata guru itu, lantas mencegah Rizki bertemu kepala
sekolah.
Padahal, tanpa menyontek, Rizki bisa lulus dengan nilai bagus. Rata-rata
nilai yang dia dapatkan dalam tiga mata pelajaran, bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan Matematika, adalah 8,75. Ironi tak mandek di situ.
Teman-teman sekolah Rizki yang notabene siswa salah satu SMP unggulan di
Jakarta Selatan justru mengucilkannya.Tentangan sosial membuat
hari-hari kelulusan semakin berat. Sempat dia berpikir hendak melapor ke
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mengekspose ke media, namun
ditahan orang-orang dekatnya. Rizki drop dan depresi. Dia menghabiskan
masa-masa menjelang SMA dengan mengurung diri di kamar dan enggan keluar
rumah.
Saat masuk SMA pada 2006 juga, Rizki merasakan kekosongan hati yang luar
biasa. Meski diterima di SMA unggulan, mendapat beasiswa prestasi, dan
mencetak nilai tertinggi, dia sudah tak bersemangat sekolah. Akhirnya
Rizki hanya satu bulan di SMA dan memilih putus sekolah. Kepercayaannya
terhadap sekolah formal luntur.
Namun, jangan dikira Rizki akan menyerah untuk mendapat pendidikan. Dia
meyakinkan sang ibu, Arlina Sariani, 50, bahwa dirinya mencari pola
belajar dengan caranya sendiri. ”Saya menamakan jalur pendidikan SMA
saya adalah unschooling,” ceritanya saat ditemui Jawa Pos di Grand
Indonesia akhir pekan lalu (26/7).
Bukan homeschooling yang harus membayar mahal biaya pendidikannya. Bukan
juga bimbingan belajar yang masuk pendidikan nonformal. Unschooling
merupakan jalur pendidikan tanpa lembaga, bahkan tanpa pengawasan orang
tua. Dia belajar sendiri di rumah. Sumber pendidikannya dia raih dari
membaca dan mempelajari buku-buku bekas dari saudara-saudaranya.Sebetulnya
unschooling yang dijalani Rizki merupakan program pemerintah untuk
pendidikan informal berupa pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM).
Sistem itulah yang melahirkan ijazah paket. Sayang, ijazah paket sudah
kadung bercitra negatif. Hanya karena lulusan ijazah paket, mayoritas
anak-anak putus sekolah dan tak mampu secara akademik. Akses ke
perguruan tinggi juga susah karena beberapa kampus tidak menerima
pelamar dengan ijazah tersebut.
Selain research melalui internet, Rizki pergi ke dinas pendidikan untuk
meyakinkan tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan dengan pola pendidikan
seperti itu. Bahkan, dia tertantang mengambil ujian paket C setara SMA
dengan sistem akselerasi. Ternyata, diknas mengizinkan Rizki dengan
beberapa syarat. Salah satunya, mengikuti placement test yang berisi
ujian akademik dan tes IQ. Rupanya Rizki berhasil melampaui syarat ujian
paket kesetaraan di bawah 17 tahun.
Untuk lolos tes paket, dalam sehari dia menghabiskan 22 jam untuk
belajar. Dia melumat pelajaran yang normalnya diambil tiga tahun menjadi
setahun saja. Pelajaran yang dirasa sulit dia cari jawabannya lewat
internet. Dia juga rajin membaca surat kabar. ”Ujian paket seharusnya
juga lebih sulit karena saya harus belajar enam mata pelajaran.
Sebaliknya, ujian nasional hanya tiga mata pelajaran,” tuturnya yang
saat ditemui mengenakan setelan jaket kuning dan celana jins warna
cerah. Begitu hasil ujian paket keluar, Rizki mencetak nilai sangat
tinggi dengan rata-rata 9 tiap pelajaran. Dia lulus SMA pada usia 16
tahun! ”Saat itu pun pengawas ujian sempat menyodori saya kunci jawaban
agar saya lulus. Pasti saja saya tolak,” ujarnya, lantas tersenyum
mengenang kisah ironi itu. Pendidikan pun dia dapatkan dengan sangat
murah. Selama unschooling, dia hanya mengeluarkan biaya Rp 100 ribu.
”Untuk fotokopi ijazah,” candanya.Pada 2007 Rizki tembus SNM PTN dan
diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia
(UI). Bahkan, dekan fakultasnya heran karena ada mahasiswa dengan ijazah
paket. Toh, pada 2011, pada usia 20 tahun, dia justru menjadi lulusan
terbaik dengan predikat cum laude.Pengalaman panjangnya dalam bersekolah
itu memicu Rizki untuk membuat sekolah gratis. Tak sekadar gratis, dia
membantu murid-muridnya mendapatkan ijazah paket A, B, dan C. Yayasan
pertama yang dia dirikan adalah masjidschooling. Dia menamai
masjidschooling karena proses pembelajarannya bertempat di teras Masjid
Baiturrahman di bilangan Bintaro.
Rizki pun menjadi guru bagi puluhan muridnya yang putus sekolah. Selain
itu, dia dibantu mengajar oleh ibu-ibu rumah tangga dan para mahasiswa
STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Hingga kini masjidschooling
berjalan empat tahun.